By : Puspita Zulviandari
Siang itu, cuaca
begitu terik. Matahari memancarkan panasnya, dan membuat tubuhku penuh
keringat. Padahal yang kukerjakan hanya duduk di pinggir lapangan basket.
Menonton sahabatku, Johnny yang sedang asyik mendribble bola basket di
tangannya dengan lincahnya. “Andrew!”tegur seseorang dari arah belakang. Aku
mengenal suara itu, yap itu Liz teman masa kecilku. Jantungku berdegub kencang
setiap bertemu dengannya, perasaan apakah ini? Aku pun tak tau. “Kau sendiri?
Mana Johnny?”tanya Liz. “Sedang berlatih untuk turnamen besok.”jawabku. Jujur
saja, aku tak begitu suka saat Liz hanya menanyakan tentang Johnny. Dia selalu
perhatian pada Johnny. “Andrew!”sahut Johnny dari tengah lapangan. Ia memberi
isyarat padaku, bahwa ia butuh minuman. Siang ini begitu terik, aku yang hanya
duduk di pinggir lapangan saja sampai berkeringat dan membuatku haus. Apalagi
Johnny yang sedang berlatih basket, permainan yang cukup menguras tenaga. “Aku
lupa membawanya!”seruku. Johnny terlihat kecewa, namun Liz dengan sigap
mengeluarkan botol minumannya untuk Johnny. “Ambil saja punyaku.”kata Liz.
Johnny berlari menghampiri Liz, dan meminum minuman pemberian Liz. Ia minum
sangat banyak, sepertinya ia memang benar-benar kehausan. “Terima kasih,
Liz.”kata Johnny. Ia kembali ke lapangan dan berlatih. Aku hanya bisa memandang
Johnny dengan tatapan kesal. Perasaan apakah ini? Apakah ini yang dinamakan
kecemburuan?
Pak Will,
Pembina kesiswaan di sekolah kami mengadakan rapat tentang festival sekolah.
Kebetulan aku, Johnny dan Liz juga merupakan panitia festival. Di mana kami
harus menyiapkan segala keperluan untuk festival sekolah. Acara ini sangat
penting, diadakan tiap tahun di sekolahku. Akan ramai orang datang karena
siswa-siswi di sekolah kami akan mengadakan bazaar produk buatan mereka dan
juga pentas seni untuk menampilkan bakat-bakat mereka. Festival sekolah kami
adalah festival sekolah terbaik di kota ini, sering menjadi daya tarik bagi
wisatawan. Pak Will membagi tugas untuk kami semua selaku panitia di dalam
rapat tersebut, agar semua mendapat pekerjaan. “Ini akan menjadi hari yang
cukup berat karena pekerjaan kalian banyak. Dan di hari sebelum festival, akan
ada gladi bersih dan kalian akan bekerja hingga malam hari.”ujar Pak Will.
“Wow, ini pasti akan menyenangkan.”kata Johnny. “Apanya yang menyenangkan?
Pekerjaan kita banyak, pasti akan melelahkan.”bantahku sambil membetulkan letak
kacamataku. “Sudahlah, kita nikmati saja pekerjaan ini. Menjadi panitia
festival sekolah adalah suatu hal yang membanggakan.”nasehat Liz. Aku hanya
mengangguk, sebenarnya aku tak begitu berminat menjadi panitia festival. Namun
demi bisa bekerja bersama dengan Liz, aku memutuskan untuk bergabung menjadi
panitia.
Kami bekerja
semaksimal mungkin untuk menyiapkan festival ini. Dany selaku ketua panitia,
kerjaannya hanya mengamati pekerjaan kami apakah sudah benar atau belum. “Finn,
harusnya dekorasi itu dipasang di sana. Bukan di sini.”katanya pada Finn yang
sedang memasang dekorasi stand. Aku bertugas memasang stand-stand untuk bazaar.
“Hati-hati dalam bekerja, pastikan semuanya terpasang dengan kuat.”kata Dany
padaku. “Iya, iya, dasar cerewet.”kataku. Johnny dan Liz hanya tertawa melihat
aku dan Dany. Saat istirahat aku mengobrol dengan Johnny, Liz pergi membeli
makanan. “Kau suka dengan Liz?”tanya Johnny spontan. “Kau ini bicara apa? Tidak
kok.”kilahku. “Kau bisa membohongiku, tapi kau tak bisa membohongi dirimu
sendiri, Andrew.”kata Johnny. “Apa maksudmu? Aku tak berbohong.”ujarku. Johnny
hanya tersenyum, dasar anak aneh. “Lagipula Liz suka padamu, mana mungkin aku
menyukai Liz.”lanjutku. “Benarkah? Memang kau pernah menanyakan padanya, siapa
lelaki yang ia sukai?”tanya Johnny. Aku hanya diam, kali ini aku tak bisa
menjawab pertanyaan Johnny. “Berjuanglah sebelum terlambat.”pesan Johnny,
sambil menepuk pundakku. “Makanan dataaang!”seru Liz sambil membawa tiga
bungkus burger. “Burger lagi?”tanyaku. “Yah, hanya ada ini saja.”jawab Liz.
“Kau tak suka burger?”tanya Johnny. “Aku tak diperbolehkan makan terlalu banyak
Junkfood.”jawabku. “Memang junkfood, tapi tak apa daripada kelaparan. Makanlah
dulu, lain aku akan mencari makanan lebih awal lagi.”janji Liz. Aku dan Johnny
memakan burger itu dengan lahap. Seharian bekerja membuat kami lapar. “Besok
kita harus lembur sampai malam.”kata Liz. “Aku jadi ingat, apa kalian pernah
mendengar tentang misteri di sekolah ini?”tanya Johnny. “Tidak, aku tak percaya
dengan bualan semacam itu.”jawabku acuh. “Wow, wow, kau itu benar-benar orang
yang cuek. Kabarnya ini bukan sekedar issu belaka. Konon di tahun 1979, ada
seorang siswa laki-laki yang kerap dibully oleh seniornya saat malam hari. Ia
selalu pulang malam karena ia merupakan anggota klub jurnalis sekolah, ia
bertugas sebagai editor artikel, sering ia lembur sampai malam hari karena ia
tak punya komputer di rumahnya. Jadi ia memakai computer sekolah untuk
mengerjakan tugasnya. Ia dianggap anak yang aneh oleh senior-seniornya dan
dibully. Bukan hanya dimaki, namun ia sering mendapat kekerasan fisik. Tak ada
yang mengetahui hal itu, sampai suatu hari siswa itu terjun dari lantai 3
gedung sekolah ini. Sebelum kematiannya, ia sempat menulis surat tentang
dirinya yang menjadi korban bullying dan juga ia mengancam akan menghantui
sekolah ini pada malam hari.”cerita Johnny panjang lebar. “Hentikan Johnny, kau
membuatku takut.”kata Liz. “Tak perlu takut. Itu hanya gossip yang
dibesar-besarkan.”kataku mencoba menenangkan Liz. Apa-apaan Johnny ini, ia
membuat Liz takut dengan cerita bohongnya. “Sudah cukup ceritanya, sebaiknya
kita melanjutkan pekerjaan kita masing-masing.”sambungku. Aku pun pergi
meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan pekerjaanku.
Esoknya,
pekerjaan kami masih banyak. Capek sekali menyiapkan festival besar seperti
ini. Tapi ini kulakukan demi Liz. Andai ia tahu perasaanku padanya. Kami juga
menyiapkan gladi bersih untuk acara pentas seni, ada yang menampilkan drama,
tarian, band, solo piano, dll. Mereka tampil memukau di gladi bersih kali ini.
Aku yakin festival besok akan sukses. “Tapi aku tak mengada-ada soal cerita
kemarin. Banyak yang mengaku melihat penampakan siswa itu di sekolah ini. Dan
kabarnya senior yang membully siswa itu, semuanya sudah meninggal secara
tragis. Kalau kau melewati bekas ruang computer yang kini telah kosong, kau
akan mendengar suara ketikan padahal computer di ruangan itu telah disingkirkan
dan ruangan itu tak lagi dipakai. Kabarnya hantu siswa itu bisa membunuh, jika
ia diganggu. Lebih baik selama semalaman ini, kita tak usah pergi ke
tempat-tempat dimana siswa itu sering dibully seperti di toilet dan di sekitar
bekas ruang computer, juga lantai 3.”cerita Johnny. “Lalu apa yang kau lakukan
bila kau ingin buang air? Kau akan buang air di luar agar para wanita dapat
melihatmu?”tanyaku. Liz tertawa terpingkal-pingkal. “Ehm, ya mungkin di luar
tetapi tetap kuusahakan tempatnya tersembunyi agar tidak ada yang melihat.
“jawab Johnny. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, aku menganggap Johnny
terlalu percaya pada takhayul dan gossip.
Malam harinya,
aku dan Liz mengobrol berdua saat sedang istirahat. “Senang ya, kita bisa
bersama-sama menyiapkan festival seperti ini. Aku akan merindukan saat-saat
seperti ini. Aku beruntung memiliki teman seperti kalian.”ujar Liz. Aku hanya
tersenyum sambil menganggukkan kepala menanggapi perkataan Liz. “Kau tau,
Andrew?”tanya Liz. “Mm-hmm?” “Aku…, aku sudah lama menyukai Johnny.”kata Liz.
Pernyataan Liz tak membuatku terkejut, aku sudah tahu dari perhatian yang
selama ini ia berikan pada Johnny. “Aku sudah tahu itu.”kataku. “Benarkah itu,
mmm… bisakah kau membantuku? Aku ingin bisa bersama dengan Johnny.”pinta Liz.
Permintaannya sungguh berat bagiku, bagaimana tidak? Aku harus merelakan orang
yang kucintai pergi bersama sahabatku sendiri. “Mmm, akan kuusahakan.”jawabku.
“Sungguh? Terima kasih banyak, Andrew. Kau teman yang sangat baik. Aku berhutang
padamu.”kata Liz senang. Aku merasa sedih, cemburu sekaligus kesal melihat
reaksi Liz. Ia tak tau bahwa aku menyukainya. Aku pergi ke toilet untuk
menenangkan diriku. Kubasuh mukaku dengan air dingin. Lalu aku memandang ke
cermin di depanku. Aku melihat sosok berpakaian hitam di cermin itu. Aku
menengok ke belakang, tak ada apapun. Aku lari sekuat tenaga menjauhi toilet
siswa. Apakah cerita Johnny benar adanya? Apakah sosok tadi adalah hantu siswa
itu? Ah, tak mungkin. Tadi itu pasti hanya halusinasiku. “Ada apa
denganmu?”tanya Johnny. Aku menggeleng, nafasku masih tersengal-sengal. “Tadi
kau dari mana?”tanya Johnny. “Toilet, di toilet itu ada seseorang.”jawabku.
“Apa? Apakah ada penyusup? Atau jangan-jangan, ah… sebaiknya kita
selidiki.”ajak Johnny. Aku menurut saja, aku dan Johnny pun pergi ke toilet
siswa untuk memeriksanya. Johnny melangkah dengan hati-hati memeriksa toilet
itu. Tiba-tiba sosok berpakaian hitam itu menusuk leher Johnny dengan pisaunya
yang besar dan tajam. Darah mengucur deras, hingga mengenai wajahku. Melihat
hal itu, sontak aku langsung berlari menjauh. Johnny, tidak! Aku tak sanggup
melihatnya. Johnny adalah sahabat baikku, apa yang terjadi barusan membuatku
sangat ketakutan. Apakah aku kehilangan Johnny, sahabat baikku itu? Tidak, ini
tidak mungkin terjadi!
Aku terus
berlari dan berlari, orang-orang melihatku dengan tatapan heran. Aku menemui
Liz yang sedang bekerja mendekorasi panggung. “Liz! Johnny…”kataku panik,
seraya memegang kedua pundak Liz. “Apa yang terjadi dengan Johnny. Wajahmu? Ada
apa dengan wajahmu? Mengapa wajahmu berdarah? Kau terluka?”tanya Liz
bertubi-tubi. Aku menggeleng, lalu tanganku menunjuk ke arah toilet. “Johnny
ada di toilet?”tanyanya. Ia melangkah menuju toilet, aku mengikutinya dari
belakang. Aku belum sanggup mengatakan apa yang terjadi. Jika Liz tahu, ia
pasti akan sangat sedih. Tiba-tiba sosok berpakaian hitam itu muncul dan
menikam Liz. Seketika Liz jatuh terjerembab, darah mengalir membasahi lantai
ubin sekolah yang berwarna putih itu. “Liz, tidak! Jangan Liz! Jangan
dia!”kataku. Aku berlari dan berlari namun aku merasa sosok berpakaian hitam
itu terus mengikutiku kemanapun. “Berhenti mengikutiku!”pintaku padanya. Tenagaku
mulai habis, aku mulai pasrah bila ia membunuhku. Pandanganku tertuju pada sebuah
cermin besar. Di sana masih ada bayangan sosok berpakaian hitam itu. Aku mulai
menyadari sesuatu. Lalu aku tersenyum puas.
Tamat