Untukmu yang saat ini masih
kutunggu. Masih ingatkah dirimu kala hari itu? Saat kau mendatangiku dan kita
berkenalan. Kukira tak ada yang mau bersamaku. Kukira takkan ada yang
menemaniku. Tapi kau ada, kau hadir tuk menemaniku. Kau seolah memberiku harapan
untuk bangkit kembali. Aku mengalami hari-hari yang cukup sulit sebelumnya. Tak
ada yang mau berteman denganku yang tertutup ini. Semua seolah menjauhiku dan
jijik kepadaku. Aku tau, aku hanya bagian dari kaum minoritas di dunia yang
dikuasai oleh kaum mayoritas. Orang-orang menganggapku anak yang aneh. Aku
terpuruk dan menderita dalam diamku. Aku sendirian, berjalan melewati kehidupan
yang penuh badai. Namun, kau ulurkan tanganmu tuk menolongku yang terjatuh di
dalam jurang keterpurukan sekian lama. Kau lukis warna di hidupku yang monotone
ini. Kau genggam tanganku dan menuntunku berjalan menuju masa depan. Kau buat
bibir ini tersenyum kembali. Kau adalah malaikat penolong bagiku. Kalau kau tak
ada, entah apa jadinya hidupku yang tanpa warna itu.
Kita bersama-sama melangkah, meraih
tujuan kita. Bersama-sama lewati hari-hari yang singkat ini. Saling bercerita
dan bercanda. Masih ingatkah dirimu? Setiap hari aku menunggumu di depan,
berharap kau kan datang dan kita bisa melewati hari bersama-sama. Senyumku
terkembang saat kulihat kau datang dan menghampiriku. Aku bahagia saat kau ada
bersamaku dan menemaniku. Aku ingin kau selalu bersamaku seperti ini. Namun,
harapan itu sia-sia karena jalan kita berbeda. Kau semakin menjauh dan menjauh
hingga aku tak dapat menggapaimu. Aku tahu, mungkin aku bukan siapa-siapa
bagimu. Aku hanya anak pendiam yang numpang lewat di kehidupanmu. Aku hanya
anak bodoh yang selalu percaya kepadamu dan sering memintamu tuk menemaniku.
Aku tau, sahabat-sahabatmu yang sekarang pasti lebih membuatmu bahagia dan
tertawa lebih keras daripada aku yang pendiam. Bagaimana aku dapat membuatmu
senang, bahkan berbicara saja aku masih kaku. Aku hanya bisa mengungkapkan
semua ini ke dalam tulisan.
Masih ingatkah hari itu? Saat aku
mengacuhkanmu karena aku merasa kita sudah semakin berjauhan? Saat dia datang
ke kehidupanku dan mencoba menghapus lukaku yang semakin melebar karena
sikapmu? Sejatinya aku tak mau mengacuhkanmu, tapi keadaan memaksaku. Aku tau,
kepribadian kita ini berbeda. Aku yang tertutup dan sering terlihat sendirian,
dan jujur aku tak punya teman di kelasku. Aku hanya berjalan mengekor di
belakang mereka. Dan hanya dipandang saat dibutuhkan. Sedangkan kau yang
terbuka dan gampang berbaur dengan lingkungan. Tak heran bila dengan mudah kau
dapat memiliki teman baru yang lebih menyenangkan. Aku sadar, aku hanya anak
pendiam yang membosankan. Kita memang telah berbaikan di dalam pesan-pesan
singkat. Namun hati ini masih canggung, sejujurnya aku kecewa dengan hidupku.
Aku iri dengan orang-orang yang selalu bisa bersamamu. Mungkin bagi mereka itu
biasa, tapi bagiku mereka adalah orang yang sangat beruntung. Mengapa aku
bukanlah orang itu? Mengapa saat aku menemukanmu, kita dipisahkan seperti ini?
Memang, dia datang dan mencoba menghapus lukaku yang semakin parah. Tapi aku
tak bahagia bersamanya. Aku bukan seperti orang lain yang dengan mudah
melupakan teman yang berarti begitu saja meski dirinya semakin menjauh karena
sudah cukup memiliki teman yang membuatnya bahagia.
Aku mencoba melupakan semuanya,
mencoba menerimamu walaupun kita jarang bersama. Hanya bisa berpapasan beberapa
detik dalam waktu-waktu tertentu. Aku ingin memberontak, dan berteriak pada
dunia bahwa aku membutuhkanmu. Tapi aku tak bisa, aku tak bisa memaksakan
kehendakku. Aku sering diacuhkan oleh orang-orang disekitarku, itu sudah biasa.
Dunia ini kebanyakan membutuhkan orang-orang yang pandai bicara. Sifat yang
sangat berkebalikan denganku. Dunia ini hanya memandang sebelah mata
orang-orang sepertiku. Aku tak punya kemampuan bersosialisasi yang baik. Aku
tumbuh menjadi seorang pendiam yang sangat tertutup. Aku lebih banyak
menghabiskan waktu di kamar. Kala jenuh, aku keluar menikmati udara segar di
kebunku sambil merenung. Sangat berkebalikan dengan kehidupanmu bukan? Kau yang
pandai bergaul, punya kemampuan sosial yang baik. Kau sering berjalan-jalan dan
menikmati indahnya dunia luar. Temanmu banyak, mereka sering ada untukmu.
Sedangkan aku tak selalu ada bersamamu saat kau senang maupun sedih. Aku tak
bisa walau sejujurnya aku sangat ingin, sangat-sangat ingin. Tapi tak ada ruang
bagiku untuk masuk ke kehidupanmu lagi. Kau yang sering bersenang-senang diluar
bersama kawan-kawanmu. Aku yakin, hal itulah yang memberimu energi. Aku tak
membutuhkan banyak teman. Aku hanya butuh teman yang benar-benar mengerti
keadaanku dan menerimaku apa adanya, seperti dirimu. Aku yakin aku akan bahagia
bila kita bisa sering-sering bersama meski hanya dirimu yang ada menemani
kehidupanku. Namun, harapan tinggal harapan.
Masih ingatkah dirimu? Saat aku
diminta mengikuti lomba bernyanyi. Sejujurnya aku tak mau, aku bukan orang yang
suka dikelilingi oleh banyak orang. Aku meminta pendapatmu dan kau mau aku
mengikutinya. Aku jadi bersemangat untuk mengikuti kompetisi itu karena
dukungan darimu. Dan kau berkata kau akan menonton penampilanku. Aku berjuang
dan berlatih keras demi tampil bagus di hadapanmu. Aku ingin membuatmu senang,
hanya inilah caraku karena kita jarang bersama. Namun, kau tak datang untuk
menonton seperti harapanku. Aku mulai putus asa, aku yang kehabisan energi
karena harus tampil di depan umum ditambah lagi kau tak datang menonton.
Penampilanku jadi kurang maksimal karena kau tak ada. Membuatku sangat sedih
dan tertekan, aku tak percaya lagi dengan siapapun. Aku berkata padamu bahwa
aku baik-baik saja, tapi tidak semudah itu. Aku jadi sering mengurung diri di
kamar, kadang aku menangis. Aku harus menanggung malu karena tampil dan
kesedihan karena kau tak datang menonton. Tekanan ini begitu besar hingga aku
semakin menjadi seorang yang pemurung. Tersenyum pun rasanya berat. Aku
bertekad aku takkan mengikuti kompetisi apapun lagi, jika kompetisi itu
mengharuskanku tampil di depan umum. Traumaku kambuh lagi, dan aku sudah tak
percaya dengan siapapun. Di sekolah aku sering sendirian karena mereka
menganggapku semakin aneh. Aku bercerita padamu tapi seolah kau tak peduli
dengan itu. Aku berharap dapat bersamamu agar sedikit mengurangi beban di hati
tapi semua itu hanya tinggal angan saja. Dirimu yang tak peduli membuatku
sedih. Aku melihatmu di hari itu, namun aku enggan menyapamu. Aku tak tau harus
berbuat apa lagi. Mungkin aku terlalu mengharapkanmu, dan membuatmu risih.
Yah, aku memang hanya bisa menulis.
Aku bukan orang yang pandai bicara. Mungkin tulisan ini begitu hiperbolik
bagimu. Aku tak peduli, aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku. Mungkin aku
hanya orang lewat yang samasekali tidak berharga bagimu. Tapi aku akan tetap
menunggumu. Menunggumu menyadari semuanya. Semoga hari-harimu menyenangkan J